Mahasiswi UNEJ Eksis di LPM, Tak Jarang Hadapi Situasi Runtuhkan Independensinya
Jember, Wartarakyat.site - Tajamnya pena wartawan melebihi pedang dan senjata berpeluru. Begitulah salah satu adagium yang sering terdengar untuk menggambarkan daya gedor sebuah tulisan ketika sudah masuk ke ruang publik.
Aktif di lembaga pers mahasiswa memang penuh dinamika. Berbekal tulisan, mahasiswa bisa "menggoyang" kampusnya, bahkan juga diburu aparat. Lantas, bagaimana mereka melewati itu semua?
Para mahasiswa yang aktif di lembaga pers kampus memiliki cerita tersendiri. Seperti yang dialami oleh Gloria Puspa, misalnya. Pimpinan Umum Imparsial, salah satu lembaga pers mahasiswa (LPM) di Universitas Jember.
Pasca reformasi, pers sudah tumbuh menjadi bagian dari pilar demokrasi yang eksis hingga kini. Tak hanya dijalankan perusahaan pers, tapi juga di lingkup kampus, dengan mahasiswa sebagai pemegang kendali penuhnya.
Mahasiswi Fakultas Hukum itu mengisahkan awal mula ketertarikannya pada dunia pers. Tepatnya saat ia masih baru menempuh semester awal. Dirinya mengaku begitu menyukai sebuah tulisan atau berita yang sampai berujung sang penulis mendapat intimidasi atau diperkarakan. "Saya memang suka dunia jurnalistik, itu sejak awal saya masuk kuliah," kata mahasiswi yang kini telah semester tujuh itu.
Kemampuannya yang dianggap menonjol membuat Gloria dipercaya untuk memimpin LPM tersebut. Bagi dia, aktif di LPM merupakan sarana yang paling pas untuk mengaktualisasikan potensi diri di bidang tulis-menulis. Meski tak jarang ia dihadapkan pada upaya-upaya yang meruntuhkan independensinya.
"Tantangannya banyak. Salah satunya kita pernah bikin tulisan mengkritisi kampus sendiri, saat momen pilrek, sampai kita ditegur. Tapi, ya, bagaimana, LPM ini kan mendapatkan support keuangan dari kampus. Itu salah satu tantangannya," kata Gloria.
Gadis kelahiran Kota Pahlawan, Surabaya, itu mengaku juga sempat mengkritisi kampus melalui tulisan anekdot berjudul "Kampusku Tanah Sengketa". Mengisahkan oasis kompleks perkampungan yang persis di tengah Kampus Tegalboto Unej. Tak lama setelah tulisannya terbit, redaksinya mendapat teguran dari pihak kampus. "Sebenarnya ide temen-temen ini keren-keren. Cuman kadang takut, karena itu tadi, kita LPM yang pendanaannya bersumber dari kampus," katanya.
Meski independensinya sering kali diuji, mereka sepertinya tak kapok. Malah makin pede. Gloria mengaku, sempat LPM tidak sekadar menjadi tempat dirinya menempa kemampuan menjadi seorang jurnalis. Namun, juga mengasah kemampuan survival-nya, yakni relasi/jaringan ataupun public speaking.
"Bagi saya, di LPM ataupun UKM, membuat lahan belajar kita lebih banyak. Mengajarkan membangun relasi banyak, karena tidak sekadar diajarkan untuk menulis berita kampus. Tapi, juga berita luar kampus. Kami sering ke Bondowoso, Banyuwangi, itu hanya untuk bertemu narasumber," kata Gloria.
Bagi Gloria, ujian independensi LPM yang hanya datang dari pihak kampus jelas berbeda dengan ujian independensi perusahaan pers, yang bisa datang dari berbagai pihak. Namun, ia masih percaya diri bahwa pers mahasiswa memiliki independensinya sendiri.
"Di luaran sana, banyak kok LPM yang berani dibekukan kampus, daripada tunduk sama pihak kampusnya," imbuhnya, disusul tawa.
Gloria mengaku sebenarnya ia juga memiliki ketertarikan pada hukum acara pidana. Khususnya saat hakim menafsirkan hukum dengan berbagai pertimbangan/kondisi hukum.
Kendati begitu, ketertarikannya terhadap pers tak lantas buyar, selepas ia lulus nanti.
Dia juga tak menutup peluang jika nantinya akan melanjutkan karirnya di dunia jurnalistik.
"Saya memang akan mengutamakan di hukum. Tapi, setelah kuliah nanti, juga tidak menutup kemungkinan saya ingin aktif di bidang jurnalistik," pungkas Gloria. (Ed: WR)